Saat ini terdapat beberapa kasus kekerasan yang dialami oleh anak-anak, khususnya kasus kekerasan seksual yang paling banyak terjadi. Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Valentina Gintings menyoroti maraknya kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi selama pandemi. “Berdasarkan data SIMFONI PPA, pada 1 Januari – 19 Juni 2020 telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual, angka ini tergolong tinggi (www.kemenpppa.go.id). Hal ini menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual pada anak perlu ditangani dengan lebih serius dan diperlukan kerjasama dari berbagai pihak.
Pada berbagai kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi saat ini, kasus yang banyak terjadi adalah pedophilia. Menurut American Psychiatric Association (1987), pelaku pedophilia adalah orang dewasa yang “mencintai anak–anak”, dengan cara lebih memilih/mencapai gairah seksual dengan membayangkan atau melakukan aktivitas seksual dengan anak–anak yang belum mencapai masa pubertas, baik dengan lawan jenis, maupun sesama jenis. Pelaku Pedophilia akan berhenti melakukan kebiasaannya ini saat baru menikah, namun akan muncul lagi beberapa saat kemudian. Pelaku pedophilia ada 2 macam. Pertama, yaitu orang asing bagi anak (misalnya, seseorang yang mendatangi sekolah dan tempat bermain anak, kemudian tiba-tiba memberi permen/mainan). Kedua, yaitu kerabat dekat anak (misalnya ayah, ibu, saudara kandung, sepupu dan saudara tiri).
Peningkatan kasus pedophilia dapat disebabkan karena pelaku mengkonsumsi alkohol, obat–obatan terlarang, adanya gangguan seksual, mengalami stress yang menghambat kontrol kognitif pada sebagian orang dewasa (terutama pria). Selain itu, dapat disebabkan karena melemahnya batasan-batasan privasi pada kebanyakan keluarga, kurangnya interaksi dan kedekatan dengan anak karena kesibukan orangtua di luar rumah, sehingga anak lebih banyak berinteraksi dengan orang asing. Hal-hal tersebut memperbesar adanya kemungkinan kontak seksual antara orang dewasa dengan anak-anak.
Salah satu situasi pedophilic yang menimbulkan trauma paling berat bagi anak yang mengalami korban pedophilia adalah kontak seksual dengan orang asing. Meskipun kontak seksual itu hanya sekedar menyaksikan aksi seorang eksibisionis (orang yang memiliki dorongan untuk memperlihatkan alat kelaminnya kepada orang yang tidak dikenalnya). Selain itu, peristiwa yang dapat menimbulkan trauma yang lain yaitu saat dilakukan pemeriksaan medis dari dokter dan pertanyaan interogatif dari orangtua serta pihak-pihak lain, yang pada umumnya memaksa anak mendeskripsikan ulang kejadian yang telah terjadi dengan sedetil–detilnya, sehingga perlu dievaluasi mengenai cara berkomunikasi melalui penyampaian pertanyaan yang mampu menimbulkan kenyamanan pada anak. Jenis–jenis gejala psikologis yang bisa muncul berkaitan dengan trauma pasca situasi pedophilic meliputi gangguan pemisahan (separation anxiety), gangguan pola tidur, depresi, kehilangan konsentrasi dan phobia pada sekolah (school phobia), sehingga anak membutuhkan pendampingan secara psikologis untuk mempersiapkan diri sebelum menceritakan situasi traumatis yang dialaminya, sehingga dapat menjadi awal proses penyembuhan secara psikis.
Dalam memberikan penanganan pada anak yang menjadi korban pedophilia, beberapa orangtua cenderung lebih terfokus pada pelayanan medis dan melupakan bahwa anak telah mengalami trauma psikis yang berat yang dapat menimbulkan perilaku negatif, misalnya penolakan dalam berinteraksi sosial, agresifitas, dan sebagainya. Dalam hal ini, bentuk pelayanan psikologis yang dilakukan oleh psikolog dapat diberikan dan diintegrasikan dalam pemulihan kondisi psikis/mental anak. Terapi yang dapat dilakukan misalnya terapi keluarga dan individu. Dalam terapi keluarga, pihak keluarga, terutama orangtua dipersiapkan untuk menerima kondisi anak dan tidak terlalu menunjukkan emosi negatif (kemarahan, kesedihan, kekecewaan) di depan anak, karena emosi negatif yang ditunjukkan orangtua sebenarnya justru semakin membuat anak tertekan, karena anak menginginkan perasaan aman, diterima, dicintai, dan dihargai orang tuanya.
Selain itu, orangtua juga perlu melakukan pengawasan dalam peer play (kelompok bermainnya). Pada terapi individu, dapat dilakukan terapi kognitif dan perilaku (Cognitive and Behavior Therapy) pada anak, yang berfokus pada pengembangan kontrol kognitif atas hasrat/impuls untuk melakukan aktivitas seksual berpasangan. Selain itu, dapat dilakukan insight therapy yang difokuskan untuk menyadari kelebihan-kelebihan anak (empowering the child), membentuk sikap terhadap lawan jenis secara positif, dan upaya memberi batasan peran dan privasi dalam keluarga dan lingkup teman–teman sebaya (misalnya tidak berjalan sambil telanjang, meningkatkan kesadaran dalam menjaga dirinya, baik pada tubuhnya sendiri, barang miliknya, dan kamarnya). Dengan adanya kerjasama dari berbagai pihak, yaitu antara orangtua, dokter, psikolog, dan pihak berwajib, diharapkan dapat mempercepat pemulihan anak secara fisik dan psikis, sehingga dapat kembali ke masyarakat dan keluarga dengan penuh semangat dan percaya diri.
Penulis :
Rizki Dandihatina Hajar, M. Psi., Psikolog
Psikolog Klinis RSUD Taman Husada Bontang